Minggu, 05 April 2015

Tak dikenal di dunia, tapi dicintai penduduk langit

Seorang lelaki datang kepada Umar ra, melaporkan kedatangan rombongan kecil dari Yaman. Tahu dari Yaman, Umar melompat, jantungnya berdebar harapan. Di sana dia menyaksikan Ali telah lebih dulu menyeruak di tengah rombongan, dia mendahului Umar berbicara dengan salah seorang anggota rombongan, yang kelihatan berpakaian bersih dengan wajah berseri, terpancar tanda-tanda keagungan darinya. Umar mendengar percakapan Ali dengan orang tadi. “Sudah tidak adakah orang lain di dalam rombonganmu ini, selain dari yang telah engkau ceritakan tadi?”
“Ada, tapi sabar dulu wahai anak paman Rasulullah!” jawab orang itu. “Aku lupa menceritakan padamu. Di antara rombongan itu, ada seorang yang tidak pernah disebut-sebut oleh khalayak. Dia linglung, bajunya compang-camping. Dia menggembalakan ternak kami dengan upah yang minim. Aku tidak menyangka anda justru mencari orang seperti dia.” Umar bertanya, “Apakah matanya biru?, kulitnya kemerah-merahan? Tegap? Dia tenang orangnya? Selalu menundukkan kepala?”
Seorang Arab badui yang mendengar detil rincian Umar ra, kagum dibuatnya. Dia pandangi Umar, tapi ketika dia belum mengenalnya siapa Umar. Badui itu berkata: “Anda menyifatinya dengan sifat-sifat yang sempurna. Apakah anda pernah melihatnya?” Cahaya menyinari hati Umar dan Ali. Keduanya tahu bahwa mereka berada pada bekas yang sempurna. Keduanya lantas minta petunjuk arah tempatnya. Badui itupun lalu menunjuk tempat Uwais. Segera Umar dan Ali saling berebut untuk bisa leibh dulu sampai.
Di tengah lapangan Makkah, dekat gunung Abi Qubais, mereka melihat seseorang menggebala onta. Umar dan Ali lalu memberi salam kepadanya, seraya bertanya: “Siapakah gerangan anda?” jawab orang itu, “Seorang penggembala, saya seorang buruh.” “Kami tidak tanya itu tapi namamu.” Sergah Umar dan Ali. Jawab orang itu,” Abdullah.” “Kami tahu bahwa semua yang ada di langit dan bumi ini Abdullah. Yang kami ingin tahu siapa nama pemberian ibumu?” “Hai tuan-tuan, apa yang kalian inginkan dari kami?” Tanya balik orang itu sedikit jengkel. Umar dan Ali lalu menceritakan, “Rasulullah telah menunjukkan kepada kami perihal Uwais Al-Qarni. Kami tahu sifat ada pada diri anda, yaitu: mata biru dan kulit kemerahan.” Kemudian keduanya meneliti kedua pundaknya, mereka melihat goresan putih. Spontan Umar dan Ali menghormat dan minta doa ampunan darinya.
Uwais Al-Qarni berkata: “Saya tidak mau mengkhususkan doa pada seseorang, tetapi untuk sekalian orang-orang mukmin, baik laki atau perempuan. Anda berdua ini siapa?” Ali menjawab, “Ini Umar, Amirul Mukminin, dan saya adalah Ali.” Mendengar itu Uwais bangkit berdiri, sambil berkata: “Salam untuk anda wahai Amirul Mukminin, dan Anda putra Abi Thalib. Semoga Allah membalas kebaikan Anda berdua terhadap umat.” Umar lalu berkata: “Wahai Uwais, berikan mau’izhah anda untukku…!” jawabnya, “Carilah rahmat Allah yang tergelar di dalam taat, jauhi siksa Allah yang ada pada maksiat, dan jangan anda berputus asa dari-Nya.”
Ali pun berkata pula, “Rasul telah menceritakan kepada kami tentang anda. Beliau tidak pernah melihat Anda, tapi senang kepada anda, dan tahu sifat-sifat anda. Anda adalah semulia-mulia diantara para tabiin. Lalu bagaimana bayangan anda tentang beliau wahai Uwais?” “Wahai Ali, anda punya keunggulan kebahagiaan dan bangga dengan melihatnya. Aku tidak mendapatkan kemuliaan itu. Akan tetapi aku menggambarkan beliau di dalam mata kepala anda. Aku memandangnya berupa Nur yang memenuhi tanah lapang. Cahaya itu merambat kepada alam wujud. Aku melihat kepala yang mulia, sejauh dua ujung busur tombak atau lebih dekat dari ‘Arsy. Sedangkan kaki beliau kulihat pada tempat bumi yang ketujuh.”
Mendengar penuturan orang itu mengenai Rasulullah, Umar dan Ali pun menangis karena rindunya kepada beliau, lalu Umar berkata: “Wahai Uwais, bagaimana menurut pandanganmu tentang zaman?” Jawabnya, “Biasa-biasa saja. Kalau pagi hari kami menyangka tidak memasuki sore, dan kalau sore kami memperkirakan tidak akan memasuki pagi.” “Bagaimana anda mencapai pangkat yang tinggi itu?” tanya kedua sahabat Nabi itu. Jawabnya, “Aku hidup dalam pangkat takut (khauf). Itu adalah maqam(tingkatan) yang tak terjangkau oleh umumnya manusia. Sebelum dia merasa takut kepada Tuhannya, seakan dia telah membunuh semua orang.”
Setelah mereka berbicara panjang lebar. Akhirnya Umar memberinya pakaian dan bekal. Uwais berkata: “Akan kuapakan ini? Tidakkah anda perhatikan pakaianku dari bulu? Kapan anda melihatku merusaknya dan butuh ganti?  Kalau aku mengambil upah dari pekerjaanku sebanyak empat dirham, kapan anda melihatku memakannya? Sesungguhnya diantara tanganku dan tangan anda terdapat penghalang (hijab) yang tidak dapat ditembus kecuali oleh onta-onta yang kurus. Berpalinglah dari dunia wahai Umar, dan takutlah pada hari, manakala tiada berguna lagi harta dan anak!” Maka Umar menghempaskan mutiaranya ke tanah seraya menjerit keras bernada sesal. “Andai saja Umar tidak dilahirkan ibunya.” (hd/liputanislam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kaifa ra'yik?